Bisa jadi! Foto-foto di atas saya ambil akhir Januari 2010 kemarin saat saya berada di Bali untuk mengurusi pabrik kaos Jangkrik dan Museum Kartun, bersama GM Sudharta, Pramono dan Mas Pri.
Apa yang dulu-dulu tahun ‘90-an kita bayangkan sudah menjadi kenyataan! Saat perusahaan setting tumbang satu-persatu di Bandung, karena kalah bersaing dengan Ventura Publisher [atau Adobe PageMaker di Jakarta] saya berpikir mungkin nantinya bikin lay-out majalah bisa gratis juga, karena kita kerjakan sendiri. Tadinya lay-out majalah atau buletin masih dihitung per-centimeter seukuran A4 atau folio, lalu hal ini lambat-laun mulai dilakukan oleh percetakan sebagai layanan gratis bagi klien.
Lebih miris lagi, pada era yang sama, ketika CorelDraw tiba-tiba muncul menjadi platform desain urang Bandung. Seorang rekan bahkan menghitung harga desain dengan model per-centimeter print-out! Sehingga anda tinggal bayangkan, satu lembar HVS-A4 bisa dipenuhi dengan berapa alternatif logo dan harganya kira-kira 50 ribu rupiah. Kata rekan saya tersebut, yang penting balik modal komputer dan printer-nya dulu. Saya memang sarankan ke dia untuk mulai menambahkan design fee juga, namun berhubung langganannya kebanyakan percetakan atau perusahaan kecil, ya apa boleh buat, 150 ribu saja mereka sudah protes. Dan pola ‘dagang desain’ semacam ini kemudian jadi model di Bandung.
Perusahaan sekelas Matari pernah coba masuk ke Bandung, tapi hanya sebagai pendukung below-the-line Jakarta. Pak Dedy yang jadi kacab-nya waktu itu pernah mengajak saya untuk mendatangi seorang klien Bandung yang mau re-design logonya. Dia bilang orang Bandung harus mulai menghargai logo seperti di Jakarta. Hanya butuh dua kali ketemu dengan Matari, pertemuan kedua soal harga, selanjutnya tidak ada kabar. Padahal harga yang disodorkan Matari sangat rendah dibanding Jakarta.
Makanya di Bandung tidak banyak perusahaan advertising yang bertahan, itupun tergantung klien dari Jakarta.
Kembali ke persoalan di atas, mungkin tidak perlu juga para desainer Bandung dan juga di seluruh Indonesia jadi resah, jangan-jangan desain memang akan jadi profesi gratisan. Gejalanya memang begitu. Tapi para pakar pendidikan atau pemasar pendidikan boleh sedikit pikir-pikir.
Masalahnya, seperti hitungan kasar rekan Hastjarjo dari Binus, sekitar 5000 lulusan DKV setiap tahun dihasilkan oleh Pendidikan Tinggi di Indonesia. Saya ragu dengan angka ini mengingat perguruan tinggi biasanya melakukan wisuda dua kali setahun, jangan-jangan malah lebih dari 5000 lulusan. Itu yang dari DKV, lalu yang dari jursan lain? Informatika atau Fikom yang notabene juga belajar mengoperasikan komputer grafis? Lalu anak-anak muda ini akan menyerbu Jakarta yang konon menghargai desainer lebih baik dari kota manapun di Indonesia. Nah lo!
Pengalaman saya di Bandung, banyak calon desainer muda yang punya modal, di Bandung, membuka usaha digital print yang lebih ‘jelas’ cash-flow-nya dibanding jadi desainer. Yang lain ada yang memilih jadi desainer kontrak pada beberapa perusahaan, yang gajinya dihitung sedikit di atas UMR. Atau ada juga yang memilih jadi pegawai tempat print lain, di mana dia harus bersaing juga dengan para lulusan jurusan lain yang mampu juga mengoperasikan komputer, di mana desain grafis hanya merupakan layanan gratis bagi klien.
Oke, ini memang potret muram dari profesi kita. Mudah-mudahan tidak terjadi di seluruh Indonesia. Namun boleh tetap jadi pemikiran kita semua. Nantinya akan terjadi seleksi alam, dimana hanya desainer yang berkualitas bagus yang akan bertahan.
Dan bagi yang belajar asal-asalan harus siap-siap terkena seleksi alam. Madesu, masa depan susah alias gratisan!
Di sunting dari dgi.com
0 comments:
Post a Comment